BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Latar Belakang Sejarah Pelalawan
2.1.1.
Sejarah Kerajaan Pelalawan
Maharaja
Indera (1380-1420 M) membangun Kerajaan
Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar, sekarang
termasuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan) pada tempat
bernama "Pematang Tuo" dan kerajaannya dinamakan
"Pekantua". Raja-raja Pekantua yang pernah memerintah setelah
Maharaja Indera adalah Maharaja Pura (1420-1445 M), Maharaja Laka (1445-1460
M), Maharaja Sysya (1460-1460 M). Maharaja Jaya (1480-1505 M). Pekantua semakin
berkembang, dan mulai dikenal sebagai bandar yang banyak menghasilkan
barang-barang perdagangan masa lalu, terutama hasil hutannya. Berita ini sampai
pula ke Melaka yang sudah berkembang menjadi bandar penting di perairan Selat
Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas, oleh karena itu Melaka
bermaksud menguasai Pekantua, sekaligus mengokohkan kekuasaannya di Pesisir
Timur Sumatera. Maka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M),
dipimpin oleh Sri Nara Diraja, Melaka menyerang Pekantua, dan Pekantua dapat
dikalahkan. Selanjutnya Sultan Masyur Syah mengangkat Munawar Syah (1505-1511
M) sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja
Pekantua, diumumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi "Kerajaan
Pekantua Kampar" dan sejak itu kerajaan Pekantua Kampar sepenuhnya berada
dalam naungan Melaka. Pada masa inilah Islam mulai berkembang di Kerajaan
Pekantua Kampar.
Setelah Munawar
Syah mangkat, diangkatlah puteranya Raja Abdullah, menjadi Raja Pekantua Kampar
(1511-1515 M). Di Melaka, Sultan Mansyur Syah mangkat, digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah I, kemudian mangkat dan digantikan oleh Sultan Mahmud Syah
I. Pada masalah inilah kerajaan Melaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis
(1511 M). Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya ke Muar, kemudian ke Bintan
dan sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar.
Raja Abdullah
(1511-1515 M), Raja Pekantua Kampar yang masih keluarga dekat Sultan Mahmud
Syah I, yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan dibuang ke
Gowa. Oleh karena itulah ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di Pekantua (1526
M) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M) dan ketika
beliau mangkat diberi gelar "Marhum Kampar". Makamnya terletak di
Pekantua Kampar dan sudah berkali-kali dipugar oleh raja-raja Pelalawan.
Pemugaran terakhir dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau
dan pemerintah Negeri Melaka, Malasysia.
Sultan Mahmud Syah
I setelah mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang
bernama Raja Ali, bergelar "Sultan Alauddin Riayat Syah II". Tak lama
kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung, mendirikan negeri
Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekantua,
beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M), yang bernama
Tun Perkasa dengan gelar "Raja Muda Tun Perkasa". Tun Hitam
(1551-1575 M), Tun Megat (1575-1590 M).
Ketika dipimpim
oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja
Pekantua Kampar, kerajaan Johor telah berkembang pesat. Oleh karena itu Tun
Megat, merasa sudah sepantasnya untuk mengirim utusan ke Johor untuk meminta
salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua
Kampar untuk menjadi rajanya. Setelah mufakat dengan Orang-orang Besar
Pekantua, maka dikirim utusan ke Johor, terdiri dari: Batin Muncak Rantau
(Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan
Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil
Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga
dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua. Sekitar
tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar dengan
gelar "Maharaja Dinda" (1950-1630 M). Terhadap Johor, kedudukannya
tetaplah sebagai Raja Muda Johor. Sebab itu disebut juga "Raja Muda Johor
di Pekantua Kampar". Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda,
oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya
Tun Perkasa.
Raja Abdurrahman
yang bergelar Maharaja Dinda itu amatlah mencintai laut. Beliau mendirikan
tempat pembuatan kapal layar di Petatal dan Limbungan (sekarang berada dalam
wilayah Sungai Ara, Kecamatan Bunut. Bandar dagang yang sebelumnya berpusat di
Bandar Nasi, dipindahkan ke Telawa Kandis. Selanjutnya beliau memindahkan pula
pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam
(sekarang menjadi Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan).
Setelah mangkat,
Maharaja Dinda digantikan oleh Puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar
Maharaja Lela Utama (1630-1650 M), Tak lama kemudian beliau mangkat, dan
digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), yang
selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M).
Raja ini selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya
(1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri banyak diganggu oleh
wabah penyakit yang banyak membawa korban jiwa rakyatnya, namun para pembesar
belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih sangat baru. Akhirnya beliau
mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), beliau
segera memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial
akibat wabah penyakit menular yang menyebabkan banyaknya rakyat menjadi korban,
termasuk ayahandanya sendiri. Namun upaya itu belum berhasil, karena
masing-masing Orang Besar Kerajaan memberikan pendapat yang berbeda. Pada masa
pemerintahannya juga, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai
Nilo, setelah mangkat, beliau digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II
(1720-1750 M). pada masa pemerintahannya diperoleh kesepakatan untuk
memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ketempat yang oleh nenek moyangnya
sendiri, yakni "Maharaja Lela Utama" pernah dilalaukan (ditandai,
dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu
anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725
M, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai
Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa
dengan kepindahan itu, maka nama kerajaan "PEKANTUA KAMPAR", diganti
menjadi kerajaan 'PELALAWAN", yang artinya tempat lalau-an atau tempat
yang sudah dicadangkan. Sejak itu, maka nama kerajaan Pekantua tidak dipakai
orang, digantikan dengan nama Pelalawan saja sampai kerajaan itu berakhir tahun
1946. Didalam upacara itu pula gelar beliau yang semua Maharaja Dinda II
disempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja lela Dipati.
Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu
(1750-1775 M), yang membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesar, karena
beliau membuka hubungan perdagangan dengan Indragiri, Jambi melalui sungai
Kerumutan, Nilo dan Panduk. Perdagangan dengan Petapahan (melalui hulu sungai
Rasau, Mempura, Kerinci). Perdangan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri
(melalui sungai Kampar) dan beberapa daerah lainnya di pesisir timur Sumatera.
Untuk memudahkan tukar menukar barang dagangan, penduduk membuat gudang yang
dibuat diatas air disebut bangsal rakit (bangsal rakit inilah yang kemudian
berkembang menjadi rumah-rumah rakit, bahkan raja Pelalawan pun pernah membuat
istana rakit, disamping istana darat).
Ramainya
perdagangan di kawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di
Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II (Marhum Mangkat Dijulang) mangkat akibat
dibunuh oleh Megat Sri Rama, sehingga arus perdagangan beralih ke kawasan
pesisir Sumatera bagian timur dan tengah, terutama di sungai-sungai besar
seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Rokan. Dalam waktu itulah Pelalawan
memanfaatkan bandar-bandar niaga untuk menjadi pusat perdagangan antar wilayah
di pesisir timur dan tengah Sumatera.
Sultan Mahmud Syah
II yang mangkat dibunuh oleh Laksemana Megat Sri Rama tidak berputera, maka
penggantinya diangkat Bendahara Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar
Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama datang Raja Kecil Siak menuntut Tahta
Johor, karena beliau mengaku sebagai putera Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya
yang bernama Encik Pong. Catatan silsilah raja-raja Siak menyebutkan bahwa
ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, Raja Kecil masih dalam kandungan
bundanya, yang sengaja diungsikan keluar dari Johor. Dalam pelarian itulah
beliau lahir, kemudian dibawa ke Jambi dan dibawa ke Pagarruyung. Disanalah
beliau dididik dan dibesarkan, sampai beliau turun kembali ke Johor melalui
Sungai Siak untuk mengambil tahta Johor yang sudah diduduki oleh Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah itu. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada
yang mengakuinya sebagai putera Sultan Mahmud dan ada yang menolaknya. Tetapi
para pencatat sejarah dan silsilah dikerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakui
bahwa beliau adalah putera Sultan Mahmud Syah II).
Raja kecil
menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian
terjadi pula pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putera Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah. Pertikaian itu terus berlanjut dengan peperangan
berkepanjangan. Raja Sulaiman akhirnya berhasil menduduki tahta Johor, dan
bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan bantuan lima orang putera
bangsawan Bugis (1722-1760). Sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor
sebelumnya (1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat negeri
di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Kecil
memerintah Siak 1722-1746 M).
Berlangsungnya
kerusuhan di Johor itu menyebabkan Pelalawan melepaskan dirinya dari ikatan
Johor, apalagi berita yang sampai ke Pelalawan mengatakan, yang memerintah di
Kerajaan Johor sekarang bukan lagi keturunan Sultan Alaudin Riayat Syah, yang
dulunya menjadi raja Pekantua Kampar.
Pada masa Sultan
Syarif Ali bin Sayyid Usman Assegaf berkuasa di Siak (1784-1811 M), beliau
menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai yang
"Dipertuan", karena beliau adalah pewaris Raja Kecil, putera Sultan
Mahmud Syah II Johor. Pelalawan yang masih merupakan kerajaan Hindu dibawah
pimpinan Maharaja Lela ini menolaknya. Maka pada tahun 1797 dan 1798, kerajaan
Siak Sri Indrapura menyerang kerajaan Pelalawan. Dengan dibimbing oleh
ayahnya, Sayyid Usman bin Abdurrahman Assegaf yang merupakan ulama dari Tarim
Hadramaut, Yaman Selatan, Sultan Syarif Ali Assegaf berhasil menakhlukkan
wilayah sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai daerah Jajahan Dua Belas
termasuk Kerajaan Pekan Tua. Kerajaan Pekan Tua yang berbasis hindu inilah yang
kelak merupakan cikal-bakal kerajaan Pelalawan. Setelah Kerajaan Pekan Tua
ditakhlukkan, Adik lelaki beliau yang bernama Tengku Said Abdurrahman Assegaf
menaiki tahta memerintah. Semenjak itu Kerajaan Pelalawan dirubah menjadi
Kesultanan (Kerajaan Islam) dengan Tengku Said Abdurrahman Assegaf sebagai
sultannya. Tengku Said Abdurrahman ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan sekitar
tahun 1810-an dengan gelar Sultan Asy-Syaidis Asy-Syarif Abdurrahman Fakhruddin
Ba'alawi atau Sultan Syarif Abdurrahman Assegaf. Meskipun begitu Tengku Said
Abdurrahman Assegaf tetap melakukan ikatan persaudaraan yang disebut
"Begito" (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela
II, raja Pelalawan yang dikalahkannya, karena merasa sama-sama keturunan Johor,
kemudian mengangkatnya menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar
Datuk Engku Raja Lela Putera. Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh
raja-raja keturunan Said Abdurrahman bin Sayyid Usman Assegaf, saudara kandung
Syarif Ali Assegaf, Sultan Siak Sri Indrapura, sampai kepada raja Pelalawan
terakhir, raja-raja itu adalah:
1. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Abdurrahman Fakhruddin Assegaf (1798 - 1822 M)
2. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Hasyim Assegaf (1822 - 1828 M)
3. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Ismail Assegaf (1828 - 1844 M)
4. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Hamid Assegaf (1844 - 1866 M)
5. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Ja'afar Assegaf (1866 - 1872 M)
6. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Abubakar Assegaf (1872 - 1886 M)
7. Tengku Sontol Said
Ali Assegaf (1886 - 1892 M)
8. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Hasyim II Assegaf (1892 - 1930 M)
9. Tengku Said Osman
Assegaf (Pemangku Sultan) (1892 - 1930 M)
10. Sultan Asy-Sayyidis
Asy-Syarif Harun Assegaf (Tengku Said Harun Assegaf) (1941 - 1946 M)
2.1.2. Kerajaan Pelalawan
masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pemerintahan Belanda menjalankan pemerintahan yang
sentral. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Pemerintah Belanda menjalankan azas
dekonsentrasi secara terbatas. Dalam kesatuan adat itu berjalan pemerinta
otonomi asli atau swapraja yang dikuasai oleh raja-raja atau sultan. Sultan
atau raja boleh melakukan pemerintahandi daerah masing-masing dengan
batas-batas yang disebutkan dalam kontrak panjang (Lange Contract) dan Kontrak
Pendek (Korte Verklaring).
Kerajaan Pelalawan adalah salah satu yang telah mengikat
perjanjian (Lange Contract) adalah Kerajaan Pelalawan. Di samping itu Kerajaan
Siak Sri Indrapura, Kerajaan Indragiri, yang kemudian diperbaharui menjadi
Korte Vorklaring. Semenjak ditanda tangani perjanjian tersebut
kerajaan-kerajaan itu beradadi bawah naungan Pemerintahan Hindia Belanda.
Kerajaan Pelalawan masuk dalam daerah keresidenan
Sumatera Timur sesudah dikeluarkan surat putusan oleh pemerintah Hindia Belanda
tanggal Oktober 1877. Dan boleh dikatakan sejak itulah mulai Pemerintahan
Hindia Belanda melirik Kerajaan Pelalawan.
Dalam maa pemerintahan Hindia Belanda khususnya di
Kerajaan Pelalawan, kekuasaan dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
semakin menjadi-jadi. Terjadi perubahan sikap kerajaan pelalawan dan rakyatnya
yang semula simpati kemudian berubah menjadi antipati terhadap pemerintahan
Hindia Belanda. Akibat kehadiran Belanda membawa api penyulut perlawan. Sering
kali pula kita mendengar turunan raja atau kepala daerah terlampau banyak
dikurangi kekuasaan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Demikian pula rakyat yang
sering menerima perlakuan tidak patut, tidak benar, dan kasar dari pemerintahan
Belanda.
Tengku Sentol berusaha agar campur tangan Belanda di
Kerajaan Pelalawan tidak terjadi, sebab akan menghilangkan kewibawaan sultan
atas kerajaan. Dan pada tahun 1890 terjadilah perlawanan rakyat kerajaan
Pelalawan terhdap Pmerintahan Hindia Belanda. Dalam peperangan tersebut
Kerajaan Pelalawan langsung dipimpin oleh Tengku Sentol (Sultan Assyaidis
Syarif Ali Tengku Sentol) untuk tidak tunduk terhadap Pemerintahan Hindia
Belanda dan dibantu oleh Panglima Muda Canang. Sebagai basis pertahanan dan
pemusatan kekuatan dipilihlah Kerumutan sebagai pusat perjuangan Panglima Muda
Canang dengan dukungan Rakyat Pelalawan berlangsung selama setahun (1890-1891).
Berakhirnya perlawanan tersebut disebabkan oleh gugurnya
Panglima Muda Canang beserta sejulah pengikut-pengikutnya, menyebabkan banyak
memeberi pengaruh kepada pikiran maupun fisik Tengku Sontol. Secara
berangsur-angsur fisik Tengku Sontol bertambah lemah, dan kelihatannya
bertambah uzur, dan kemudian beliau jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1892.
Dan kemudian digantikan oleh kakaknya Tengku Hasyim. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda berikutnya, Kerajaan Pelalawan banyak mendapatkan tekanan dan
kekuasaan sultan dipersempit. Kontrak politik tetap dilakukan dan terus
berlanjut.
Akhir Pemerintahan Hindia Belanda
Perang Dunia ke-2 yang meletus menyebabkan Pemerintaha
Kolonial Belanda harus menghadapi serangan Jepang. Untuk itu Belanda membentuk
Komisi Visman pada bulan November 1941, yang kemudian memutuskan dan
menjanjikan satu perubahan ketatanegaraan bagi bangsa Indonesia setelah perang
selesai. Rakyat Pelalawan khususnya pada saat itu masih bersikap acuh terhadap
tawaran itu. Kepercayaan rakyat semakin berkurang, bahkan mengharapkan agar
Jepang segera datang. Sementara itu Propaganda Jepang semakin meluas
dikumandangkan ke seluruh tanah air, dan mengharapkan agar Belanda cepat
runtuh.
Pada akhir tahun 1941 Belanda telah mengosongkan
Pelalawan. Belanda tidak lagi meperdulikan masalah politik, pemerintahan dan
perekonomian. mereka mengetahui pulabahwa tentara Jepang sudah hampir menguasai
wilayah Indonesia secara keseluruhan. Kenyataannya sebelu Perang Pasifik orang Jepang sudah banyak yang
datang ke Riau dan menyebar ke seluruh
Riau untuk menyebarluaskan propaganda politiknya.
2.1.3.
Masa Pendudukan
Jepang
Di Kerajaan Pelalawan tentara Jepang langsung menemui
Sultan Tengku Sayed Harun dan pembesar Kerajaan Pelalawan, menjelaskan maksud
dan tujuan mereka datang, yaitu membebaskan Kerajaan Pelalawan dari penjajahan
Belanda, dan akan membantu setiap kesulitan.
Kemudian Keresidenan Riau ditukar menjadi Riau Syu, residennya dipanggil Syuschokan, tetapi kekuasaannya sama
dengan Gubernur Militer. Kabupaten atau daerah bekas jajahan asisten Residen
diganti menjadi Bunsyu dan bupatinya
disebut Bunsyuocho. Dan daerah-daerah
Onderafdeeling dijadikan Gun yang
dikepalai oleh Guncho. Sebagai Guncho
di Pelalawan adalah Cik Agus. Sedangkan
Syuchokan dan Bunsyucho diangkat dari orang Jepang, dan Guncho barulah diangkat
dari penduduk pribumi. Pelalawan masuk kawasan Pekanbaru Bun.
Sultan dan rakyatnya kemudian terbujuk rayuan Jepang.
Rakyat-rakyat kemudian diberikan latihan militer yang kemudian diperuntukkan
untuk kepentingan kerajaan. Diantaranya membentuk Heiho (pembantu prajurit), Keibodan
(pembantu polisi), Seinehdan (barisan
pemuda), Bagodan (keamanan desa), dan
Fujikai (barisan wanita). Taktik
Jepang ini bertujuan untuk memperkuat militer dari ancaman Sekutu,karena
Pasukan Sekutu secara terus menerus melakukan konsolidasi kekuatannya, dan pada
suatu waktu merekan akan datang kembali untuk menghancurkan kekuatan Jepang..
Propaganda Jepang yang sangat berkesan adalah tetap
menghormati kedaulatan sultan dan orang-orang besar kerajaan. Bendera Merah
Puti dibiarkan berkibar, kemudian berkumandangnya lagu Indonesia Raya di radio-radio
pendudukan.
Terjadinya perubahan sikap Jepang tersebut direalisasikan
pula dalam tindakan sehari-hari. Kedatangan epang tersebut memang tidak dengan
maksud jujur. Kedatangan Jepang
bermaksud untuk menguasai sumber daya alam di kepulauan Nusantara yang kaya
raya dan sangat diperlukan oleh Jepang. Disamping itu Jepang mulai mengibarkan
Bendera Hinomaru dengan kokohnya dan melarang pengibaran Bendera Merah Putih.
Akhirnya sikap arogansi Jepang nampak setelah mereka
membekukan semua Kerajaan di Riau Syu, termasuk Kerajaan Pelalawan. Sejak itu praktis
Kerajaan Pelalawan tidak berfungsi lagi. Sultan tidak menjalankan pemerintahan,
hanya dianggap sebagai orang-orang terkemuka saja. Di samping itu tindakan
Jepang menguasai kebutuhan pangan, sandang, dan tenaga kerja. Di Pelalawan pada umunya rakyat dipaksa untuk
menjadi petani, terutama untuk komoditas karet dan padi. Tenaga para pemuda
digunakan bangsa Jepang untuk pembuatan jalan, rel kereta api dan tambang emas
di Logas. Mereka ini disebut Romusha. Kemudian
para ulama di Pelalawan diberi indoktrinisasi agar mereka turut membantu Jepang
menyukseskan Perang Asia Timur Raya. Demikian pula penduduk, mereka dilarang
untuk melakukan hubungan dengan dunia luar. Semua pesawat radio dikuasai
Jepang, karena pada akhir 1944 Jepang sudah memperkirakan perang akan meletus
dan Jepang harus menghadapi musuh yang sangat kuat.
Akhir pendudukan Jepang
Perang pasifik atau disebut Jepang, Perang Asia Timur
Raya mendekati babak akhir dan Jepang mulai kehilangan banyak kekuatannya.
Berita kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 sudah tersiar di
daerah Riau pada akhir Agustus 1945. Berita ini diyakini kebenarannya karena
dalam sikap orangorang Jepang mulai berubah.
Berita kekalahannya pada mulanya dirahasiakan oleh
Jepang. Para pemuda di Pekanbaru setelah mendengar pengummuman kKaisar Tenno
Heika bahwa perang Asia Timur Raya sudah berakhir, masi diragukan oleh pemuda
dan tidak berani disebarluaskan. Berakhirnya pendudukan Jepang di Kerajaan Pelalawan
karena seluru pasukan Jepang yang ada di Riau, khususnya Riau daratan ditarik
ke Pekanbaru. Secara total pasukan Pelalawan ditarik dari Pelalawan sebelum
bendera Merah Putih dikibarkan, tepatnya pada bulan September 1945.
Isu berita proklamasi mulai meluas. Menjelang pertengaha
bulan Agustus 1945, Tengku Said Sagaf Osman yang bekerja pada perusahaan Dagang
Jepang yang menangani soal pangan, sandang dan pertambangan ditempatkan di
kantor Guncho Pelalawan. Berkunjung ke Pekanbaru untuk menemui kepala Syuchokan, dan di Pekanbaru menemui
kepalanya yaitu Fujiyama.
Selama di Pekanbaru TS. Sagaf Osman mendengar bahwa Indonesia sudah merdeka. Ia dapat melihat orang-orag berbisik-bisik tentang kemerdekaan. Saat TS. Sagaf Osman kembali pulang ke Pelalawan. Dalam perjalanan pulang ia dititipkan surat rahasia oleh Kepala Keuangan Kantor Riau Syuchokan bernama Agus Ramadhan untuk Cik Agus, Guncho Pelalawan..yang berisi berita kemerdekaan Indonesia. Segera sultan Pelalawan Said Harun, TS. Sagaf Osman, Tengku Tonel dan orang-orang terkemuka lainnya memutuskan tekad untuk menyambut sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia.
Selama di Pekanbaru TS. Sagaf Osman mendengar bahwa Indonesia sudah merdeka. Ia dapat melihat orang-orag berbisik-bisik tentang kemerdekaan. Saat TS. Sagaf Osman kembali pulang ke Pelalawan. Dalam perjalanan pulang ia dititipkan surat rahasia oleh Kepala Keuangan Kantor Riau Syuchokan bernama Agus Ramadhan untuk Cik Agus, Guncho Pelalawan..yang berisi berita kemerdekaan Indonesia. Segera sultan Pelalawan Said Harun, TS. Sagaf Osman, Tengku Tonel dan orang-orang terkemuka lainnya memutuskan tekad untuk menyambut sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia.
2.1.4. Pelalawan Sebagai
Kabupaten
Kabupaten ini berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Kampar yang terdiri atas 4 (empat) wilayah kecamatan, yakni:
Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut dan Kuala Kampar (Bab II. Pasal 3 Tentang
Pembentukan, Batas Wilayah dan Ibukota). Sesuai dengan UU RI No. 53 Tahun 1999,
Kabupaten Pelalawan terdiri atas 4 (empat) kecamatan, namun setelah terbit
Surat Dirjen PUOD No.138/1775/PUOD Tanggal 21 Juni 1999 tentang pembentukan 9
(sembilan) Kecamatan Pembantu di Provinsi Riau, maka Kabupaten Pelalawan
dimekarkan menjadi 9 (sembilan), yakni terdiri atas 4 kecamatan induk dan 5 kecamatan
pembantu, tetapi berdasarkan SK Gubernur Provinsi Riau No. 136/TP/1443,
Kabupaten Pelalawan dimekarkan kembali menjadi 10 (sepuluh) kecamatan. Namun
setelah terbitnya Peraturan daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 06 tahun 2005,
maka sekarang ini Kabupaten Pelalawan terdiri dari 12 kecamatan.
2.2. Kondisi Geografis
Pelalawan
Dibelah oleh aliran
sungai Kampar, kabupaten Pelalawan memilik beberapa pulau yang relatif besar
yaitu: Pulau Mendol, Pulau Serapung dan Pulau Muda serta
pulau-pulau yang tergolong kecil seperti: Pulau Tugau, Pulau Labuh, pulau Baru
Pulau Ketam dan Pulau Untut.
Luas seluruh
wilayah kabupaten Pelalawan adalah sebesar: 12.647,29 Km2 (Luas
Kecamatan-kecamatan ini diukur berdasarkan peta batas wilayah kecamatan dan
telah ditetapkan melalui Surat Bupati No.050/Bappeda-B/2000/212, tentang batas
dan luas wilayah kabupaten dan kecamatan).
Batas
Wilayah Menurut Bab II,
Pasal 14, UU RI Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan, Batas Wilayah dan
Ibukota:
Utara
|
Kabupaten
Siak dan Kabupaten
Kepulauan Meranti
|
Selatan
|
Kabupaten Kuantan
Singingi dan Pasir Penyu,
Indragiri Hulu
|
Barat
|
Kabupaten Kuantan
Singingi, Kabupaten
Kampar dan Kota
Pekanbaru
|
Timur
|
Kabupaten Karimun dan Kabupaten
Indragiri Hilir
|
Daftar Kecamatan
1. Kecamatan Langgam,
dengan ibukota Langgam.
2. Kecamatan Pangkalan
Kerinci, dengan ibukota Pangkalan Kerinci.
3. Kecamatan Pangkalan
Kuras, dengan ibukota Sorek Satu.
4. Kecamatan Pangkalan
Lesung, dengan ibukota Pangkalan Lesung.
5. Kecamatan Ukui,
dengan ibukota, dengan ibukota Ukui Satu.
6. Kecamatan Kuala
Kampar, dengan ibukota Teluk Dalam.
7. Kecamatan
Kerumutan, dengan ibukota Kerumutan.
8. Kecamatan Teluk
Meranti, dengan ibukota Teluk Meranti.
9. Kecamatan Bunut,
dengan ibukota Pangkalan Bunut.
10. Kecamatan
Pelalawan, dengan ibukota Pelalawan.
11. Kecamatan Bandar
Sekijang, dengan ibukota Sekijang.
12. Kecamatan Bandar
Petalangan, dengan ibukota Rawang Empat
Struktur wilayah Pelalawan
merupakan daratan rendah dan bukit-bukit. Dataran rendah membentang kearah
Timur dengan luas wilayah mencapai 93 persen dari total keseluruhan.
Secara fisik
sebagian wilayah ini merupakan daerah konservasi dengan karakteristik tanah pada
bagian tertentu bersifat asam dan merupakan tanah organik, air tanahnya payau,
kelembaban dan temperatur udara agak tinggi.
2.3. Kemasyarakatan kerajaan Pelalawan
Penduduk kerajaan pelalawan umumnya tinggal
disekitar sungai Kampar. Mereka membuat rumah berjajar di pnggir sungai Kampar
dan sekaligus menghaadap sungai itu. Peranan dan fungsi sungai Kampar sangat
besar bagi kehidupan masyarakat Pelalawan. Sungai Kampar merupakan urat nadi
perhbungan, sumber air minum, tempat mencari peghidupan bagi nelayan serta sumber
air bagi kebuthan hidup mereka. Bahan makanan, sayur mayor atau kebutuhan
lainnya yang dating dari luar diangkut melalui sungai Kampar dari dan ke
Pelalawan. Bila masyarakat keluar atau masuk ke Pelalawan mereka menggunakan
tranportasi air yang juga melewati sungai Kampar. Begitu pentingnya sungai
Kampar bagi kehidupan masyarakat Pelalawan, sehingga semua perhatian mereka
tertuju ke sungai Kampar yang diwujudkan melalui cara menempatkan sungai Kampar
dalam penempatan rumah-rumah mereka.
Kerajaan Pelalawan adalah kerajaan Melayu, karena it
massyarakat dan budaya pelalawan banyak persamaan dengan kerajaan Melayu
lainnya. Masyarakat Pelalawan penganut agama Islam, berbahasa melay dan
berbudaya melayu. “bila seseorang itu disebut orang Melayu, maka dia adalah
penganut agama islam. Merupakan aib besar dalam masyarakat Melayu bila terdapat
orang Melayu yang memeluk agama lain selain islam” (Drs. Ahmad Yusuf, et-al
1993 : 150). Nilai-nilai yang hidup dalam kerajaan pelalawan berdasarkan ajaran
islam seperti budayanya, adat istiadatnya dan masyarakatnya, karena itu adat
yang berlaku disini “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”.
System kekerabatan dalam masyarakat pelalawan diatur
berdasarkan “bilateral” yaitu hak waris menurut hkm syarak (Depdikbud,
1986/1987 : 110-111) dan kedudukan orang tua kepada anaknya pun diatur
berdasarkan hokum syarak juga. Dalam hal perkawinan masyarakat Pelalawan
seperti juga masyarakat melayu lainnya mengacu pada hokum faraid yaitu
perkawinan dapat dilakukan menurut islam. Berbeda dengan masyarakat yang
mendasarkan kepada sistem matriarchat dan patriarchat yang terjadi dari banyak
suku, mereka tidak boleh kawin sesuku, apalagi kawin sepupu, sedangkan dalam
masyarakat melayu yang terdiri atas satu suku melayu maka perkawinan dapat
dilakukan kawin sepupu, apalagi kawwin sesuku. Perkawinan yang tidak boleh
dilakukan adalah terhadap orang-orang yang terlarang menurut hokum Islam.
2.4. Istana Sayap Pelalawan
Istana Sayap awalnya dibangun oleh
Sultan Pelalawan ke 29, yakni Tengku Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). Sebelum
bangunan itu selesai, beliau mangkat digelar Marhum Mangkat di Balai.
Selanjutnya pembangunan Istana ini diteruskan sampai selesai oleh pengganti
beliau yakni Sultan Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Pada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau
(anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku
Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya
dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang
disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG
PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana
yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka
beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan
Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan
istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor
Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai
Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat
Pelalawan.
Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai
seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di
sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan
kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa
Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan
pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai
Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum
Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di
Pekantua Kampar 1528 M).
2.4.1.
Filosofi Istana Sayap
Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat,
disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan,
kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini
menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan,
sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk,
sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri
bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.
Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan,
setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang
lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah
belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut
bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang,
Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya).
Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan
kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat
pada Istana Raja.
Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta
keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat
ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang
diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan
Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk
tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang
bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan
Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan
dan sebagainya.
Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari
rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan :
“yang
ayam ada induknya
Yang
serai ada rumpunnya
Yang
sungai ada guguknya
Yang
keris ada hulunya
Yan
tombak ada gagangnya
Yang
rumah ada tuannya
Yang
kampong ada penghulunya
Yang
negeri ada rajanya”
Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat
yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia
duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Adat
masuk ke rumah orang
Tahu
duduk dengan tegaknya
Tahu
susun dengan letaknya
Tahu
atur dengan haknya
Tahu
alur dengan patutnya”
Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran
dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan
setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Rumah Induk ada
Anaknya
Anak
di kanan anak di kiri
Anak
dibuat sama setara
Sama
bentuk dengan ukurnya
Sama
jauh dengan dekatnya
Sama
padan dengan takahnya
Tanda
adil sama dijunjung
Tanda
menimbang sama berat
Tanda
mengukur sama panjang
Tanda
menyukat sama penuh
Tanda
berlaba sama mendapat
Tanda
hilang sama merugi
Tanda
berat sama dipikul
Tanda
ringan sama dijinjing
Tanda
ke laut sama berbasah
Tanda
ke darat sama berkering
Tanda
senasib sepenanggungan
Tanda seaib
sama semalu”
Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk
tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam
kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Di
dalam bangunan Induk
Terkandung
tuah dengan marwah
Terkandung
petuah dengan amanah
Terkandung
janji dengan sumpah
Terkandung
daulat dengan martabat
Terkandung
makna dengan hakikat
Terkandung
kasih dengan saying
Terkandung
beban berkepanjangan
Terkandung
hutang tak berkesudahan
Hutang
ke Allah hutang ke rakyat
Hutang
tak dapat dibelah bagi
Hutang
tak dapat diingkar-ingkari
Hutang
amanah menebus sumpah”
Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap
Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang
raja memegang hulu
Hulu
bicara hulu rundingan
Hulu
petuah hulu amanah
Hulu
titah membawa berkah
Hulu
nasehat membawa berkat”
“Di
Sayap Kanan raja duduk
Mencari
runding pada yang elok
Di
sana yang kusut diselesaikan
Di
sana yang keruh dijernihkan
Di
sana yang bengkok diluruskan
Disana
yang salah dibetulkan
Disana
yang kesat diampelas
Disana
yang berbongkol sama ditarah
Disana
yang sumbang diperbaiki
Disana
yang janggal dielokkan
Disana
hukum ditegakkan”
Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni
yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan
ungkapan adat:
“Yang
rakyat memberi ingat
Memberi
bakti serta pendapat
Memberi
setia serta amanat
Supaya
berjalan tak salah langkah
Supaya
bercakap tak salah ucap
Supaya
memerintah tak salah titah
Supaya
berjalan tak salah pedoman
Supaya
berlayar kearah yang benar
Disana
tangan bebas melenggang
Disana
kaki bebas melangkah
Disana
lidah bebas bercakap
Disana
janji sama diikat
Disana
amanah dipegang erat”
Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur
dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang
intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati,
menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa
yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin
dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan
batiniah.
Pekanbaru, Juli 2006
Tenas
Effendy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar