Kamis, 04 Oktober 2012

Sejarah Kabupaten Pelalawan



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Latar Belakang Sejarah Pelalawan
2.1.1.      Sejarah Kerajaan Pelalawan
Wilayah kerajaan Pelalawan yang sekarang menjadi Kabupaten Pelalawan, berawal dari Kerajaan Pekantua yang didirikan oleh Maharaja Indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik (Singapura) yang mendirikan kerajaan ini setelah Temasik dikalahkan oleh Majapahit dipenghujung abad XIV. Sedangkan Raja Temasik terakhir yang bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan dirinya ke Tanah Semenanjung, dan mendirikan kerajaan Melaka.
Maharaja Indera (1380-1420 M) membangun Kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (anak sungai Kampar, sekarang termasuk Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan) pada tempat bernama "Pematang Tuo" dan kerajaannya dinamakan "Pekantua". Raja-raja Pekantua yang pernah memerintah setelah Maharaja Indera adalah Maharaja Pura (1420-1445 M), Maharaja Laka (1445-1460 M), Maharaja Sysya (1460-1460 M). Maharaja Jaya (1480-1505 M). Pekantua semakin berkembang, dan mulai dikenal sebagai bandar yang banyak menghasilkan barang-barang perdagangan masa lalu, terutama hasil hutannya. Berita ini sampai pula ke Melaka yang sudah berkembang menjadi bandar penting di perairan Selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas, oleh karena itu Melaka bermaksud menguasai Pekantua, sekaligus mengokohkan kekuasaannya di Pesisir Timur Sumatera. Maka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M), dipimpin oleh Sri Nara Diraja, Melaka menyerang Pekantua, dan Pekantua dapat dikalahkan. Selanjutnya Sultan Masyur Syah mengangkat Munawar Syah (1505-1511 M) sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi "Kerajaan Pekantua Kampar" dan sejak itu kerajaan Pekantua Kampar sepenuhnya berada dalam naungan Melaka. Pada masa inilah Islam mulai berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar.
Setelah Munawar Syah mangkat, diangkatlah puteranya Raja Abdullah, menjadi Raja Pekantua Kampar (1511-1515 M). Di Melaka, Sultan Mansyur Syah mangkat, digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kemudian mangkat dan digantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masalah inilah kerajaan Melaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya ke Muar, kemudian ke Bintan dan sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar.
Raja Abdullah (1511-1515 M), Raja Pekantua Kampar yang masih keluarga dekat Sultan Mahmud Syah I, yang turut membantu melawan Portugis akhirnya tertangkap dan dibuang ke Gowa. Oleh karena itulah ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di Pekantua (1526 M) langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M) dan ketika beliau mangkat diberi gelar "Marhum Kampar". Makamnya terletak di Pekantua Kampar dan sudah berkali-kali dipugar oleh raja-raja Pelalawan. Pemugaran terakhir dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau dan pemerintah Negeri Melaka, Malasysia.
Sultan Mahmud Syah I setelah mangkat digantikan oleh puteranya dari isterinya Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar "Sultan Alauddin Riayat Syah II". Tak lama kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung, mendirikan negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekantua, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M), yang bernama Tun Perkasa dengan gelar "Raja Muda Tun Perkasa". Tun Hitam (1551-1575 M), Tun Megat (1575-1590 M).
Ketika dipimpim oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar, kerajaan Johor telah berkembang pesat. Oleh karena itu Tun Megat, merasa sudah sepantasnya untuk mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi rajanya. Setelah mufakat dengan Orang-orang Besar Pekantua, maka dikirim utusan ke Johor, terdiri dari: Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk Patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda" (1950-1630 M). Terhadap Johor, kedudukannya tetaplah sebagai Raja Muda Johor. Sebab itu disebut juga "Raja Muda Johor di Pekantua Kampar". Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.
Raja Abdurrahman yang bergelar Maharaja Dinda itu amatlah mencintai laut. Beliau mendirikan tempat pembuatan kapal layar di Petatal dan Limbungan (sekarang berada dalam wilayah Sungai Ara, Kecamatan Bunut. Bandar dagang yang sebelumnya berpusat di Bandar Nasi, dipindahkan ke Telawa Kandis. Selanjutnya beliau memindahkan pula pusat kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua (Pematang Tuo) ke Bandar Tolam (sekarang menjadi Desa Tolam, Kecamatan Pelalawan).
Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh Puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M), Tak lama kemudian beliau mangkat, dan digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), yang selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Raja ini selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri banyak diganggu oleh wabah penyakit yang banyak membawa korban jiwa rakyatnya, namun para pembesar belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih sangat baru. Akhirnya beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), beliau segera memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial akibat wabah penyakit menular yang menyebabkan banyaknya rakyat menjadi korban, termasuk ayahandanya sendiri. Namun upaya itu belum berhasil, karena masing-masing Orang Besar Kerajaan memberikan pendapat yang berbeda. Pada masa pemerintahannya juga, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai Nilo, setelah mangkat, beliau digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa pemerintahannya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ketempat yang oleh nenek moyangnya sendiri, yakni "Maharaja Lela Utama" pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo.
Sekitar tahun 1725 M, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, maka nama kerajaan "PEKANTUA KAMPAR", diganti menjadi kerajaan 'PELALAWAN", yang artinya tempat lalau-an atau tempat yang sudah dicadangkan. Sejak itu, maka nama kerajaan Pekantua tidak dipakai orang, digantikan dengan nama Pelalawan saja sampai kerajaan itu berakhir tahun 1946. Didalam upacara itu pula gelar beliau yang semua Maharaja Dinda II disempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesar, karena beliau membuka hubungan perdagangan dengan Indragiri, Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk. Perdagangan dengan Petapahan (melalui hulu sungai Rasau, Mempura, Kerinci). Perdangan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri (melalui sungai Kampar) dan beberapa daerah lainnya di pesisir timur Sumatera. Untuk memudahkan tukar menukar barang dagangan, penduduk membuat gudang yang dibuat diatas air disebut bangsal rakit (bangsal rakit inilah yang kemudian berkembang menjadi rumah-rumah rakit, bahkan raja Pelalawan pun pernah membuat istana rakit, disamping istana darat).
Ramainya perdagangan di kawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II (Marhum Mangkat Dijulang) mangkat akibat dibunuh oleh Megat Sri Rama, sehingga arus perdagangan beralih ke kawasan pesisir Sumatera bagian timur dan tengah, terutama di sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Rokan. Dalam waktu itulah Pelalawan memanfaatkan bandar-bandar niaga untuk menjadi pusat perdagangan antar wilayah di pesisir timur dan tengah Sumatera.
Sultan Mahmud Syah II yang mangkat dibunuh oleh Laksemana Megat Sri Rama tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahara Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama datang Raja Kecil Siak menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai putera Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. Catatan silsilah raja-raja Siak menyebutkan bahwa ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, Raja Kecil masih dalam kandungan bundanya, yang sengaja diungsikan keluar dari Johor. Dalam pelarian itulah beliau lahir, kemudian dibawa ke Jambi dan dibawa ke Pagarruyung. Disanalah beliau dididik dan dibesarkan, sampai beliau turun kembali ke Johor melalui Sungai Siak untuk mengambil tahta Johor yang sudah diduduki oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah itu. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putera Sultan Mahmud dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah dikerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakui bahwa beliau adalah putera Sultan Mahmud Syah II).
Raja kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pula pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Pertikaian itu terus berlanjut dengan peperangan berkepanjangan. Raja Sulaiman akhirnya berhasil menduduki tahta Johor, dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan bantuan lima orang putera bangsawan Bugis (1722-1760). Sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya (1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat negeri di Buatan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Kecil memerintah Siak 1722-1746 M).
Berlangsungnya kerusuhan di Johor itu menyebabkan Pelalawan melepaskan dirinya dari ikatan Johor, apalagi berita yang sampai ke Pelalawan mengatakan, yang memerintah di Kerajaan Johor sekarang bukan lagi keturunan Sultan Alaudin Riayat Syah, yang dulunya menjadi raja Pekantua Kampar.
Pada masa Sultan Syarif Ali bin Sayyid Usman Assegaf berkuasa di Siak (1784-1811 M), beliau menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai yang "Dipertuan", karena beliau adalah pewaris Raja Kecil, putera Sultan Mahmud Syah II Johor. Pelalawan yang masih merupakan kerajaan Hindu dibawah pimpinan Maharaja Lela ini menolaknya. Maka pada tahun 1797 dan 1798, kerajaan Siak Sri Indrapura menyerang kerajaan Pelalawan. Dengan dibimbing oleh ayahnya, Sayyid Usman bin Abdurrahman Assegaf yang merupakan ulama dari Tarim Hadramaut, Yaman Selatan, Sultan Syarif Ali Assegaf berhasil menakhlukkan wilayah sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai daerah Jajahan Dua Belas termasuk Kerajaan Pekan Tua. Kerajaan Pekan Tua yang berbasis hindu inilah yang kelak merupakan cikal-bakal kerajaan Pelalawan. Setelah Kerajaan Pekan Tua ditakhlukkan, Adik lelaki beliau yang bernama Tengku Said Abdurrahman Assegaf menaiki tahta memerintah. Semenjak itu Kerajaan Pelalawan dirubah menjadi Kesultanan (Kerajaan Islam) dengan Tengku Said Abdurrahman Assegaf sebagai sultannya. Tengku Said Abdurrahman ditabalkan menjadi Sultan Pelalawan sekitar tahun 1810-an dengan gelar Sultan Asy-Syaidis Asy-Syarif Abdurrahman Fakhruddin Ba'alawi atau Sultan Syarif Abdurrahman Assegaf. Meskipun begitu Tengku Said Abdurrahman Assegaf tetap melakukan ikatan persaudaraan yang disebut "Begito" (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, raja Pelalawan yang dikalahkannya, karena merasa sama-sama keturunan Johor, kemudian mengangkatnya menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman bin Sayyid Usman Assegaf, saudara kandung Syarif Ali Assegaf, Sultan Siak Sri Indrapura, sampai kepada raja Pelalawan terakhir, raja-raja itu adalah:
1.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Abdurrahman Fakhruddin Assegaf (1798 - 1822 M)
2.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Hasyim Assegaf (1822 - 1828 M)
3.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Ismail Assegaf (1828 - 1844 M)
4.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Hamid Assegaf (1844 - 1866 M)
5.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Ja'afar Assegaf (1866 - 1872 M)
6.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Abubakar Assegaf (1872 - 1886 M)
7.     Tengku Sontol Said Ali Assegaf (1886 - 1892 M)
8.     Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Hasyim II Assegaf (1892 - 1930 M)
9.     Tengku Said Osman Assegaf (Pemangku Sultan) (1892 - 1930 M)
10. Sultan Asy-Sayyidis Asy-Syarif Harun Assegaf (Tengku Said Harun Assegaf) (1941 - 1946 M)
2.1.2.      Kerajaan Pelalawan masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pemerintahan Belanda menjalankan pemerintahan yang sentral. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Pemerintah Belanda menjalankan azas dekonsentrasi secara terbatas. Dalam kesatuan adat itu berjalan pemerinta otonomi asli atau swapraja yang dikuasai oleh raja-raja atau sultan. Sultan atau raja boleh melakukan pemerintahandi daerah masing-masing dengan batas-batas yang disebutkan dalam kontrak panjang (Lange Contract) dan Kontrak Pendek (Korte Verklaring).
Kerajaan Pelalawan adalah salah satu yang telah mengikat perjanjian (Lange Contract) adalah Kerajaan Pelalawan. Di samping itu Kerajaan Siak Sri Indrapura, Kerajaan Indragiri, yang kemudian diperbaharui menjadi Korte Vorklaring. Semenjak ditanda tangani perjanjian tersebut kerajaan-kerajaan itu beradadi bawah naungan Pemerintahan Hindia Belanda.
Kerajaan Pelalawan masuk dalam daerah keresidenan Sumatera Timur sesudah dikeluarkan surat putusan oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal Oktober 1877. Dan boleh dikatakan sejak itulah mulai Pemerintahan Hindia Belanda melirik Kerajaan Pelalawan.
Dalam maa pemerintahan Hindia Belanda khususnya di Kerajaan Pelalawan, kekuasaan dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan semakin menjadi-jadi. Terjadi perubahan sikap kerajaan pelalawan dan rakyatnya yang semula simpati kemudian berubah menjadi antipati terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Akibat kehadiran Belanda membawa api penyulut perlawan. Sering kali pula kita mendengar turunan raja atau kepala daerah terlampau banyak dikurangi kekuasaan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Demikian pula rakyat yang sering menerima perlakuan tidak patut, tidak benar, dan kasar dari pemerintahan Belanda.
Tengku Sentol berusaha agar campur tangan Belanda di Kerajaan Pelalawan tidak terjadi, sebab akan menghilangkan kewibawaan sultan atas kerajaan. Dan pada tahun 1890 terjadilah perlawanan rakyat kerajaan Pelalawan terhdap Pmerintahan Hindia Belanda. Dalam peperangan tersebut Kerajaan Pelalawan langsung dipimpin oleh Tengku Sentol (Sultan Assyaidis Syarif Ali Tengku Sentol) untuk tidak tunduk terhadap Pemerintahan Hindia Belanda dan dibantu oleh Panglima Muda Canang. Sebagai basis pertahanan dan pemusatan kekuatan dipilihlah Kerumutan sebagai pusat perjuangan Panglima Muda Canang dengan dukungan Rakyat Pelalawan berlangsung selama setahun (1890-1891).
Berakhirnya perlawanan tersebut disebabkan oleh gugurnya Panglima Muda Canang beserta sejulah pengikut-pengikutnya, menyebabkan banyak memeberi pengaruh kepada pikiran maupun fisik Tengku Sontol. Secara berangsur-angsur fisik Tengku Sontol bertambah lemah, dan kelihatannya bertambah uzur, dan kemudian beliau jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1892. Dan kemudian digantikan oleh kakaknya Tengku Hasyim. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda berikutnya, Kerajaan Pelalawan banyak mendapatkan tekanan dan kekuasaan sultan dipersempit. Kontrak politik tetap dilakukan dan terus berlanjut.
Akhir Pemerintahan Hindia Belanda
Perang Dunia ke-2 yang meletus menyebabkan Pemerintaha Kolonial Belanda harus menghadapi serangan Jepang. Untuk itu Belanda membentuk Komisi Visman pada bulan November 1941, yang kemudian memutuskan dan menjanjikan satu perubahan ketatanegaraan bagi bangsa Indonesia setelah perang selesai. Rakyat Pelalawan khususnya pada saat itu masih bersikap acuh terhadap tawaran itu. Kepercayaan rakyat semakin berkurang, bahkan mengharapkan agar Jepang segera datang. Sementara itu Propaganda Jepang semakin meluas dikumandangkan ke seluruh tanah air, dan mengharapkan agar Belanda cepat runtuh.
Pada akhir tahun 1941 Belanda telah mengosongkan Pelalawan. Belanda tidak lagi meperdulikan masalah politik, pemerintahan dan perekonomian. mereka mengetahui pulabahwa tentara Jepang sudah hampir menguasai wilayah Indonesia secara keseluruhan. Kenyataannya sebelu  Perang Pasifik orang Jepang sudah banyak yang datang ke Riau dan menyebar  ke seluruh Riau untuk menyebarluaskan propaganda politiknya.
2.1.3.      Masa  Pendudukan Jepang
Di Kerajaan Pelalawan tentara Jepang langsung menemui Sultan Tengku Sayed Harun dan pembesar Kerajaan Pelalawan, menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang, yaitu membebaskan Kerajaan Pelalawan dari penjajahan Belanda, dan akan membantu setiap kesulitan.
Kemudian Keresidenan Riau ditukar menjadi Riau Syu, residennya dipanggil Syuschokan, tetapi kekuasaannya sama dengan Gubernur Militer. Kabupaten atau daerah bekas jajahan asisten Residen diganti menjadi Bunsyu dan bupatinya disebut Bunsyuocho. Dan daerah-daerah Onderafdeeling dijadikan Gun yang dikepalai oleh Guncho. Sebagai Guncho di Pelalawan adalah Cik Agus.  Sedangkan Syuchokan dan Bunsyucho diangkat dari orang Jepang, dan Guncho barulah diangkat dari penduduk pribumi. Pelalawan masuk kawasan Pekanbaru Bun.
Sultan dan rakyatnya kemudian terbujuk rayuan Jepang. Rakyat-rakyat kemudian diberikan latihan militer yang kemudian diperuntukkan untuk kepentingan kerajaan. Diantaranya membentuk Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (pembantu polisi), Seinehdan (barisan pemuda), Bagodan (keamanan desa), dan Fujikai (barisan wanita). Taktik Jepang ini bertujuan untuk memperkuat militer dari ancaman Sekutu,karena Pasukan Sekutu secara terus menerus melakukan konsolidasi kekuatannya, dan pada suatu waktu merekan akan datang kembali untuk menghancurkan kekuatan Jepang..
Propaganda Jepang yang sangat berkesan adalah tetap menghormati kedaulatan sultan dan orang-orang besar kerajaan. Bendera Merah Puti dibiarkan berkibar, kemudian berkumandangnya lagu Indonesia Raya di radio-radio pendudukan.
Terjadinya perubahan sikap Jepang tersebut direalisasikan pula dalam tindakan sehari-hari. Kedatangan epang tersebut memang tidak dengan maksud jujur.  Kedatangan Jepang bermaksud untuk menguasai sumber daya alam di kepulauan Nusantara yang kaya raya dan sangat diperlukan oleh Jepang. Disamping itu Jepang mulai mengibarkan Bendera Hinomaru dengan kokohnya dan melarang pengibaran Bendera Merah Putih.
Akhirnya sikap arogansi Jepang nampak setelah mereka membekukan semua Kerajaan di Riau Syu,  termasuk Kerajaan Pelalawan. Sejak itu praktis Kerajaan Pelalawan tidak berfungsi lagi. Sultan tidak menjalankan pemerintahan, hanya dianggap sebagai orang-orang terkemuka saja. Di samping itu tindakan Jepang menguasai kebutuhan pangan, sandang, dan tenaga kerja.  Di Pelalawan pada umunya rakyat dipaksa untuk menjadi petani, terutama untuk komoditas karet dan padi. Tenaga para pemuda digunakan bangsa Jepang untuk pembuatan jalan, rel kereta api dan tambang emas di Logas. Mereka ini disebut Romusha. Kemudian para ulama di Pelalawan diberi indoktrinisasi agar mereka turut membantu Jepang menyukseskan Perang Asia Timur Raya. Demikian pula penduduk, mereka dilarang untuk melakukan hubungan dengan dunia luar. Semua pesawat radio dikuasai Jepang, karena pada akhir 1944 Jepang sudah memperkirakan perang akan meletus dan Jepang harus menghadapi musuh yang sangat kuat.
Akhir pendudukan Jepang
Perang pasifik atau disebut Jepang, Perang Asia Timur Raya mendekati babak akhir dan Jepang mulai kehilangan banyak kekuatannya. Berita kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada  tanggal 15 Agustus 1945 sudah tersiar di daerah Riau pada akhir Agustus 1945. Berita ini diyakini kebenarannya karena dalam sikap orangorang Jepang mulai berubah.
Berita kekalahannya pada mulanya dirahasiakan oleh Jepang. Para pemuda di Pekanbaru setelah mendengar pengummuman kKaisar Tenno Heika bahwa perang Asia Timur Raya sudah berakhir, masi diragukan oleh pemuda dan tidak berani disebarluaskan. Berakhirnya pendudukan Jepang di Kerajaan Pelalawan karena seluru pasukan Jepang yang ada di Riau, khususnya Riau daratan ditarik ke Pekanbaru. Secara total pasukan Pelalawan ditarik dari Pelalawan sebelum bendera Merah Putih dikibarkan, tepatnya pada bulan September 1945.
Isu berita proklamasi mulai meluas. Menjelang pertengaha bulan Agustus 1945, Tengku Said Sagaf Osman yang bekerja pada perusahaan Dagang Jepang yang menangani soal pangan, sandang dan pertambangan ditempatkan di kantor Guncho Pelalawan. Berkunjung ke Pekanbaru untuk menemui kepala Syuchokan, dan di Pekanbaru menemui kepalanya yaitu Fujiyama.
Selama di Pekanbaru TS. Sagaf Osman mendengar bahwa Indonesia sudah merdeka. Ia dapat melihat orang-orag berbisik-bisik tentang kemerdekaan. Saat TS. Sagaf Osman kembali pulang ke Pelalawan. Dalam perjalanan pulang ia dititipkan surat rahasia oleh Kepala Keuangan Kantor Riau Syuchokan bernama Agus Ramadhan untuk Cik Agus, Guncho Pelalawan..yang berisi berita kemerdekaan Indonesia. Segera sultan Pelalawan Said Harun, TS. Sagaf Osman, Tengku Tonel dan orang-orang terkemuka lainnya memutuskan tekad untuk menyambut sepenuhnya kemerdekaan Republik Indonesia.
2.1.4.      Pelalawan Sebagai Kabupaten
Kabupaten ini berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Kampar yang terdiri atas 4 (empat) wilayah kecamatan, yakni: Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut dan Kuala Kampar (Bab II. Pasal 3 Tentang Pembentukan, Batas Wilayah dan Ibukota). Sesuai dengan UU RI No. 53 Tahun 1999, Kabupaten Pelalawan terdiri atas 4 (empat) kecamatan, namun setelah terbit Surat Dirjen PUOD No.138/1775/PUOD Tanggal 21 Juni 1999 tentang pembentukan 9 (sembilan) Kecamatan Pembantu di Provinsi Riau, maka Kabupaten Pelalawan dimekarkan menjadi 9 (sembilan), yakni terdiri atas 4 kecamatan induk dan 5 kecamatan pembantu, tetapi berdasarkan SK Gubernur Provinsi Riau No. 136/TP/1443, Kabupaten Pelalawan dimekarkan kembali menjadi 10 (sepuluh) kecamatan. Namun setelah terbitnya Peraturan daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 06 tahun 2005, maka sekarang ini Kabupaten Pelalawan terdiri dari 12 kecamatan.
2.2.  Kondisi Geografis Pelalawan
Dibelah oleh aliran sungai Kampar, kabupaten Pelalawan memilik beberapa pulau yang relatif besar yaitu: Pulau Mendol, Pulau Serapung dan Pulau Muda serta pulau-pulau yang tergolong kecil seperti: Pulau Tugau, Pulau Labuh, pulau Baru Pulau Ketam dan Pulau Untut.
Luas seluruh wilayah kabupaten Pelalawan adalah sebesar: 12.647,29 Km2 (Luas Kecamatan-kecamatan ini diukur berdasarkan peta batas wilayah kecamatan dan telah ditetapkan melalui Surat Bupati No.050/Bappeda-B/2000/212, tentang batas dan luas wilayah kabupaten dan kecamatan).
Batas Wilayah Menurut Bab II, Pasal 14, UU RI Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan, Batas Wilayah dan Ibukota:
Utara
Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan Meranti
Selatan
Kabupaten Kuantan Singingi dan Pasir Penyu, Indragiri Hulu
Barat
Kabupaten Kuantan SingingiKabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru
Timur
Kabupaten Karimun dan Kabupaten Indragiri Hilir

Daftar Kecamatan
1.     Kecamatan Langgam, dengan ibukota Langgam.
2.     Kecamatan Pangkalan Kerinci, dengan ibukota Pangkalan Kerinci.
3.     Kecamatan Pangkalan Kuras, dengan ibukota Sorek Satu.
4.     Kecamatan Pangkalan Lesung, dengan ibukota Pangkalan Lesung.
5.     Kecamatan Ukui, dengan ibukota, dengan ibukota Ukui Satu.
6.     Kecamatan Kuala Kampar, dengan ibukota Teluk Dalam.
7.     Kecamatan Kerumutan, dengan ibukota Kerumutan.
8.     Kecamatan Teluk Meranti, dengan ibukota Teluk Meranti.
9.     Kecamatan Bunut, dengan ibukota Pangkalan Bunut.
10. Kecamatan Pelalawan, dengan ibukota Pelalawan.
11. Kecamatan Bandar Sekijang, dengan ibukota Sekijang.
12. Kecamatan Bandar Petalangan, dengan ibukota Rawang Empat
Struktur wilayah Pelalawan merupakan daratan rendah dan bukit-bukit. Dataran rendah membentang kearah Timur dengan luas wilayah mencapai 93 persen dari total keseluruhan.
Secara fisik sebagian wilayah ini merupakan daerah konservasi dengan karakteristik tanah pada bagian tertentu bersifat asam dan merupakan tanah organik, air tanahnya payau, kelembaban dan temperatur udara agak tinggi.
2.3.  Kemasyarakatan kerajaan Pelalawan
Penduduk kerajaan pelalawan umumnya tinggal disekitar sungai Kampar. Mereka membuat rumah berjajar di pnggir sungai Kampar dan sekaligus menghaadap sungai itu. Peranan dan fungsi sungai Kampar sangat besar bagi kehidupan masyarakat Pelalawan. Sungai Kampar merupakan urat nadi perhbungan, sumber air minum, tempat mencari peghidupan bagi nelayan serta sumber air bagi kebuthan hidup mereka. Bahan makanan, sayur mayor atau kebutuhan lainnya yang dating dari luar diangkut melalui sungai Kampar dari dan ke Pelalawan. Bila masyarakat keluar atau masuk ke Pelalawan mereka menggunakan tranportasi air yang juga melewati sungai Kampar. Begitu pentingnya sungai Kampar bagi kehidupan masyarakat Pelalawan, sehingga semua perhatian mereka tertuju ke sungai Kampar yang diwujudkan melalui cara menempatkan sungai Kampar dalam penempatan rumah-rumah mereka.
Kerajaan Pelalawan adalah kerajaan Melayu, karena it massyarakat dan budaya pelalawan banyak persamaan dengan kerajaan Melayu lainnya. Masyarakat Pelalawan penganut agama Islam, berbahasa melay dan berbudaya melayu. “bila seseorang itu disebut orang Melayu, maka dia adalah penganut agama islam. Merupakan aib besar dalam masyarakat Melayu bila terdapat orang Melayu yang memeluk agama lain selain islam” (Drs. Ahmad Yusuf, et-al 1993 : 150). Nilai-nilai yang hidup dalam kerajaan pelalawan berdasarkan ajaran islam seperti budayanya, adat istiadatnya dan masyarakatnya, karena itu adat yang berlaku disini “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”.
System kekerabatan dalam masyarakat pelalawan diatur berdasarkan “bilateral” yaitu hak waris menurut hkm syarak (Depdikbud, 1986/1987 : 110-111) dan kedudukan orang tua kepada anaknya pun diatur berdasarkan hokum syarak juga. Dalam hal perkawinan masyarakat Pelalawan seperti juga masyarakat melayu lainnya mengacu pada hokum faraid yaitu perkawinan dapat dilakukan menurut islam. Berbeda dengan masyarakat yang mendasarkan kepada sistem matriarchat dan patriarchat yang terjadi dari banyak suku, mereka tidak boleh kawin sesuku, apalagi kawin sepupu, sedangkan dalam masyarakat melayu yang terdiri atas satu suku melayu maka perkawinan dapat dilakukan kawin sepupu, apalagi kawwin sesuku. Perkawinan yang tidak boleh dilakukan adalah terhadap orang-orang yang terlarang menurut hokum Islam.
2.4.  Istana Sayap Pelalawan
Istana Sayap awalnya dibangun oleh Sultan Pelalawan ke 29, yakni Tengku Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). Sebelum bangunan itu selesai, beliau mangkat digelar Marhum Mangkat di Balai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diteruskan sampai selesai oleh pengganti beliau yakni Sultan Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Pada awalnya pusat kerajaan Pelalawan berada di Sungai Rasau (anak sungai Kampar), berlokasi di Kota Jauh dan Kota Dekat. Ketika Tengku Sontol Said Ali menjadi Sultan Pelalawan, beliau berazam memindahkan istananya dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar, tepatnya di muara sungai Rasau yang disebut “Ujung Pantai”. Karenanya, istana ini dinamakan pula “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana yang masih terbengkalai karena mangkatnya Sultan Tengku Sontol Said Ali, maka beliau membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Sekitar tahun 1896 M bangunan istana Sayap selesai seluruhnya, dan Sultan Syarif Hasyim II berpindah dari Istana Kota Dekat di sungai Rasau ke Istana Sayap di Ujung Pantai. Sejak itu, pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan menetap di pinggir sungai Kampar yang sekarang menjadi Desa Pelalawan, dan Ibukota Kecamatan Pelalawan.
Untuk mengenang jasa Sultan Syarif Hasyim II yang memindahkan pusat pemerintahan kerajaan Pelalawan dari sungai Rasau ke pinggir sungai Kampar dimaksud, ketika mangkatnya beliau digelar “MARHUM KAMPAR II. (Marhum Kampar I adalah Sultan Mahmud Syah I, Sultan Melaka terakhir yang mangkat di Pekantua Kampar 1528 M).
2.4.1.      Filosofi Istana Sayap
Dahulu, setiap bangunan dirancang secara cermat, disempurnakan dengan berbagai syimbol dan makna, agar memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan manfaat yang besar bagi penghuni dan pemiliknya. Acuan ini menyebabkan pembangunan Istana Sayap dirancang dengan berbagai pertimbangan, sehingga wujudlah tiga bangunan. Bangunan pertama adalah Bangunan Induk, sedangkan bangunan kedua dan ketiga yang terletak di samping kanan dan kiri bangunan induk dinamakan bangunan “Sayap Kanan” dan “Sayap Kiri”.
Di dalam budaya Melayu Riau, khasnya di kerajaan Pelalawan, setiap bangunan resmi terdiri dari bangunan Induk dan bangunan lainnya, yang lazim disebut “bangunan anak” atau “Bangunan Sayap”. Bila letaknya kearah belakang atau kemuka, dan menyatu dengan bangunan Induk, lazimnya disebut bangunan Anak, (selanjutnya disebut pula Selasar depan, selasar Belakang, Selasar Dalam, Selasar Luar, Selasar Jatuh, Gajah Menyusur dan sebagainya). Bila bangunan itu berada agak terpisah dan terletak simitris sebelah kanan dan kiri bangunan Induk, disebut “Sayap”. Lazimnya, bangunan Sayap hanya terdapat pada Istana Raja.
Di Istana Sayap, bangunan Induk adalah tempat Sultan beserta keluarga dan orang-orang yang bertugas di sana. Di bangunan ini pula terdapat ruang Penghadapan (ruang Peterakna), bilik tidur, dan ruangan anjungan yang diisi dengan segala alat dan kelengkapan kerjaaan. Menyatu dengan bangunan Induk, disebelah depan terdapat ruang Selasar Dalam dan Selasar Luar untuk tempat menghadap rakyat dan Orang-orang Besar Kerajaan. Di bagian belakang bangunan Induk ada ruangan Telo, dan di belakangnya lagi adalah ruangan Penanggah, tempat kegiatan pekerja rumah tangga Istana dan kelengkapan jamuan dan sebagainya.
Bangunan Induk mencerminkan Sultan sebagai “induk” dari rakyatnya, sesuai dengan ungkapan adat yang mangatakan : 
“yang ayam ada induknya
Yang serai ada rumpunnya
Yang sungai ada guguknya
Yang keris ada hulunya
Yan tombak ada gagangnya
Yang rumah ada tuannya
Yang kampong ada penghulunya
Yang negeri ada rajanya”
Pembagian tata ruang diatur sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku, sehingga siapaun yang masuk ke bangunan itu akan tahu dimana ia duduk dan dimana ia berdiri. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Adat masuk ke rumah orang
Tahu duduk dengan tegaknya
Tahu susun dengan letaknya
Tahu atur dengan haknya
Tahu alur dengan patutnya”
Bangunan Anak yang disebut Sayap dibuat khusus dengan ukuran dan bentuk yang sama. Ketentuan ini mencerminkan kehidupan yang seimbang dan setara, adil dan tidak berat sebelah. Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Rumah Induk ada Anaknya
Anak di kanan anak di kiri
Anak dibuat sama setara
Sama bentuk dengan ukurnya
Sama jauh dengan dekatnya
Sama padan dengan takahnya
Tanda adil sama dijunjung
Tanda menimbang sama berat
Tanda mengukur sama panjang
Tanda menyukat sama penuh
Tanda berlaba sama mendapat
Tanda hilang sama merugi
Tanda berat sama dipikul
Tanda ringan sama dijinjing
Tanda ke laut sama berbasah
Tanda ke darat sama berkering
Tanda senasib sepenanggungan
Tanda seaib sama semalu”
Di dalam menentukan fungsi bangunan, maka Bangunan Induk tetap dijadikan teraju dan pucuk dari semua aktivitas dan makna di dalam kerajaan itu, Di dalam ungkapan adat dikatakan :
“Di dalam bangunan Induk
Terkandung tuah dengan marwah
Terkandung petuah dengan amanah
Terkandung janji dengan sumpah

Terkandung daulat dengan martabat
Terkandung makna dengan hakikat
Terkandung kasih dengan saying
Terkandung beban berkepanjangan
Terkandung hutang tak berkesudahan
Hutang ke Allah hutang ke rakyat
Hutang tak dapat dibelah bagi
Hutang tak dapat diingkar-ingkari
Hutang amanah menebus sumpah”
Di dalam memfungsikan bangunan Sayap, ditetapkan, bahwa Sayap Kanan, yakni sebelah hulu dijadikan kantor Sultan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang raja memegang hulu
Hulu bicara hulu rundingan
Hulu petuah hulu amanah
Hulu titah membawa berkah
Hulu nasehat membawa berkat”
“Di Sayap Kanan raja duduk
Mencari runding pada yang elok
Di sana yang kusut diselesaikan
Di sana yang keruh dijernihkan
Di sana yang bengkok diluruskan
Disana yang salah dibetulkan
Disana yang kesat diampelas
Disana yang berbongkol sama ditarah
Disana yang sumbang diperbaiki
Disana yang janggal dielokkan
Disana hukum ditegakkan”
Sedangkan bangunan Sayap sebelah kiri bangunan Induk, yakni yang sebelah hilir, dijadikan tempat menghadap rakyat kerajaan, sesuai dengan ungkapan adat:
“Yang rakyat memberi ingat
Memberi bakti serta pendapat
Memberi setia serta amanat
Supaya berjalan tak salah langkah
Supaya bercakap tak salah ucap
Supaya memerintah tak salah titah
Supaya berjalan tak salah pedoman
Supaya berlayar kearah yang benar

Disana tangan bebas melenggang
Disana kaki bebas melangkah
Disana lidah bebas bercakap
Disana janji sama diikat
Disana amanah dipegang erat”
Selain itu, simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai luhur dan budaya tempatan tercermin pula dalam berbagai ornament dan sebagainya yang intinya mengacu kepada keutamaan raja dan raknyatnya yang hidup tersebati, menyatu bagaikan mata putih dengan mata hitam, sehingga rusak yang putih binasa yang hitam, dan rusak yang hitam binasa yang putih. Bersebatinya pemimpin dengan rakyatnya, serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera lahiriah dan batiniah.


Pekanbaru, Juli 2006

Tenas Effendy 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar